Kamis, 27 Mei 2010

Otonomi Daerah Menyuburkan Korupsi

Gizi.net - Otonomi daerah di Indonesia yang sudah berjalan sekian tahun tidak membawa pengaruh yang positif bagi daerah, tetapi justru menyuburkan tindakan korupsi. Praktik korupsi kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor terutama lembaga eksekutif dan legislatif daerah.

Demikian dikatakan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko, dalam acara laporan akhir tahun 2004 ICW di Jakarta, Selasa (18/1). Dalam acara itu, Danang Widoyoko didampingi aktivis ICW lainnya, Adnan Topan Usodo.

Dikatakan Danang, catatan ICW sejak Januari hingga Desember 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia dengan berbagai macam aktor, modus, dan tingkat kerugian yang dialami negara. Dari sekian kasus itu, kata dia, 124 kasus korupsi melibatkan anggota DPRD dan 83 kasus melibatkan kepala daerah.

Ia mengatakan, data tersebut menegaskan bahwa otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (kepala daerah dan legislatif) untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tidak adanya kontrol masyarakat.

Danang mengutip TA. Legowo (2001) mengatakan, ada tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat.

"Karenanya program otonomi daerah hanya memberi peluang kepada elite lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang," kata Danang. (E-8)

hubungan antara islam dan pancasila

Perdebatan mengenai apa dasar negara RI harus didasarkan telah lama menjadi debat yang panas terutama kelompok Islam dan Pancasilais. Pada sidang konstituante 1957 debat itu kembali terulang dengan hasil yang boleh dikatakan menggantung. Bahkan bagi kaum Islamis fanatik wacana ini belumlah padam, faktanya adalah kembali maraknya wacana shariatisasi tatanan hukum seiring dengan euforia reformasi. Kegagalan pembangunan dan krisis moral nasional pasca rezim Suharto menjadi momentum kaum Islamis untuk menyatakan mosi tidak percaya (lagi) pada Pancasila. Pancasila dianggap gagal, oleh kelompok islamis ini, menjadi dasar kenegaraan dan kebangsaan RI. Bertumpuk-tumpuk artikel tentang ini bisa dibaca online maupun cetak di media kaum islamis seperti Sabili, Mujahidin, Salafy, Hidayatullah dll. Kaum Islamis ini jelas mengusung romantisisme Negara Islam Indonesia (NII) dengan cita rasa baru yakni bukan lagi mencitakan NII namun “Indonesia Nan Islami”.

Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah (Collins, 2004) sebenarnya telah berjalan secara pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia (Hefner, 1997). Seruan Hisbutahir Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu. Kaum Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis. Media massa dan elite Muslim yang duduk di pemerintahan tengah ‘haus’ akan keislaman yang otentik (bahkan ironisnya cenderung ke arah konsupmtivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui atau tidak ‘perasaan’ kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar Negara RI.

Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini dikarenakan Islam yang tidak tunggal (Lawrence, 1998) itu hanya mengulang-ulang kembali perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. Bahkan kaum nasionalispun sepertinya terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat. Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila?

Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.

Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaauntuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .

Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini bukanlah kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa banyak umat agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak seperti ini sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini. Kiranya pernyataan ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam sejarah bangsa dan negara di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran, hal ini dikarenakan penguasa saat itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu diperparah oleh elite penguasa dan agama yang korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pancasila juga mengalami hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan tujuan dari pancasila itu sendiri yakni menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih daripada itu semua dalah kesalahan elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan kemakmuran diri sendiri. Namun demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya, Pancasila dengan nilai demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya seperti Indonesia ini.

Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu agama misalnya) seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila rakyat semua berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti. Walaupun demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada demokrasi modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi demi tujuan yang lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi sekelompok elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa keadilan.

Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai tradisi dan agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama yang tumbuh dalam ruang dan waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa budaya dan kemanusiaan yang ada, apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas terkandung didalamya suatu nilai budaya tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat. Negoisasi dan akulturasi yang terjadi di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai sosok agama tersebut hingga tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai modern ini sebenarnya tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan dan kemanusiaan akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan mampu membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa. Beragama dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan berpancasila dalam segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas beragama yang dewasa dan modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi pada masa lalu yang dianggap otentik dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.

Pengembangan Nilai-Nilai Luhur Budi Pekerti sebagai Karakter Bangsa

Pada tatanan mikro, karakter diartikan sebagai (i) kualitas dan kuantitas reaksi terhadap diri sendiri, orang lain, maupun situasi tertentu; atau (ii) watak, akhlak, ciri psikologis. Ciri-ciri psikologis yang dimiliki individu pada lingkup pribadi, secara evolutif akan berkembang menjadi ciri kelompok dan lebih luas lagi menjadi ciri sosial. Ciri psikologis individu akan memberi warna dan corak identitas kelompok dan pada tatanan makro akan menjadi ciri psikologis atau karakter suatu bangsa. Pembentukan karakter suatu bangsa berproses secara dinamis sebagai suatu fenomena sosio-ekologis.

Sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa, karakter merupakan nilai dasar
prilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia (when character is lost
then everyting is lost
). Secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai
hidup bersama berdasarkan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect),
kerjasama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happinnes), kejujuran
(honesty), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab
(responsibility), kesederhanaan (simplicty), toleransi (tolerance) dan persatuan (unity).

Kita mengenal dasar filisofis karakter atas dasar Tri Rahayu (Ki Tyasno
Sudarto, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa, 2007) yaitu :
1. Mamayu hayuning saliro (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualitas diri);
2. Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan bangsa);
3. Mamayu hayuning bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia).
Untuk mencapai tatanan Tri Rahayu tersebut, manusia harus memahami, menghayati,
serta melaksanakan tugasnya sebagai manusia yang tercantum dalam Tri Satya Brata:
1. Rahayuning bawono kapurbo waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia
tergantung pada manusia yang memiliki ketajaman rasa)
2. Dharmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas utama dalam
menjaga keselamatan negara)
3. Rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia
ditentukan tata perilakunya)

Nilai-nilai luhur (supreme values) adalah pedoman hidup (guiding principles)
yang digunakan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang lebih tinggi, hidup yang
lebih bermanfaat, kedamaian dan kebahagiaan. Kemanusiaan yang dimaksud adalah
humanitarianisma (perikemanusiaan) yang meliputi solidaritas sesama manusia,
menghormati hakekat dan martabat manusia, kesetaraan dan tolong menolong antar
manusia, menghormati perbedaan dalam berbagai dimensi antar manusia,
menciptakan kedamaian. Budi pekerti sebagai nilai luhur adalah pilihan perilaku yang
dibangun berdasarkan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga sering diposisikan
sebagai nilai instrumental atau cara mencapai sesuatu atau sikap terhadap sesuatu.
Dengan budi pekerti, kita akan berbakti, mengabdi dengan sepenuh jiwa raga kepada
bangsa dan kita bukan bangsa pencaci ataupun penghujat.

Bangsa Indonesia yang bersifat multi etnis memiliki khasanah ajaran,
wewarah, tuntunan yang sangat kaya mengenai budi pekerti. Bagi masyarakat Jawa,
wewarah budi pekerti banyak diwarnai dari para pujangga seperti Ki Ageng
Soerjomentaram dengan ajaran bahwa dalam menjalani hidup sebaiknya menghindari
perilaku : ngangsa-angsa; ngaya-aya; golek benere dhewe. Raden Mas Sosrokartono
(saudaranya Raden Ajeng Kartini) adalah sarjana sastra pertama dari Negeri Belanda
mengajarkan sikap batin utama untuk menghadapi berbagai situasi konflik. Ajaran
beliau adalah : sugih tanpo bandha; digdaya tanpo aji; nglurug tanpo bala; menang
tanpo ngasorake.

Masyarakat Melayu mengenal “tunjuk ajar” secara turun temurun yang
merupakan petunjuk mengenai mearifan budi dalam menyikapi segala bentuk masalah
hidup. Beberapa ajaran dalam membangun budi pekerti pada umumnya disajikan
dalam pantun yang indah, antara lain adalah :
hidup dalam pekerti
mati dalam budi
bila duduk, duduk bersifat
bila tegak, tegak beradat
bila bercakap, cakap berkhasiat
bila diam, diam makrifat

Maknanya adalah hidup harus selalu menunjukkan perilaku mulia atau terpuji dan
tahu membawa diri.
ke hulu sama bergalah
ke hilir sama berhanyut
terendam sama basah
terapung sama timbul

Ajaran ini memberikan tuntunan untuk menjunjung nilai kebersamaan,
kegotongroyongan, senasib sepenanggungan

Demikianlah terurai kata untuk mengingat kembali tekad kita untuk
senantiasa… Bangunlah jiwanya, Bangunkah badannya, untuk Indonesia Raya.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa menuntun bangsa Indonesia untuk
anggayuh kasampurnaning urip, berbudi bawa leksana, ngudi sajatining becik”.

Sodjuangon Situmorang: Peranan Program Peningkatan Kapasitas
Berkelanjutan untuk Desentralisasi.

Harus diakui bahwa tuntutan terhadap kemandirian bangsa saat ini telah
semakin mengemuka. Secara umum memang dapat dijawab dengan argumentasi
fenomena globalisasi. Sebuah kondisi dimana semua negara harus memberikan
peluang dan akses yang sama kepada semua pihak, termasuk pihak asing, untuk ikut
terlibat dalam berbagai konstelasi nasional maupun regional di berbagai bidang,
berikut segala konsekuensinya.

Menghadapi kondisi tersebut, maka satu satunya demarkasi yang tegas
adalah daya saing bangsa (national competitiveness), tentunya daya saing di sini
dalam arti yang luas. Mencapai suatu daya saing yang kuat membutuhkan upaya
besar dan peran aktif segenap komponen masyarakat. Salah satu tampilan yang
berperan signifikan dalam upaya besar tersebut adalah pembinaan karakter
bangsa, khususnya karakter positif bangsa yang harus terus ditumbuh-kembangkan
melalui proses pembelajaran yang berkesinambungan sehingga memperkuat
kemampuan adaptif dari daya saing bangsa.

Dalam upaya untuk mengaktualisasikan hal tersebut, maka dituntut peran
penting dari pimpinan dan jajaran aparatur pemerintah daerah dalam program
peningkatan kapasitas, khususnya perannya sebagai: (i) character builders, yaitu
membangun kembali karakter positif bangsa dengan menjunjung nilai-nilai moral di
atas kepentingan sesaat dan menginternalisasikannya pada kegiatan dan aktifitasnya
sehari-hari; (ii) character enabler, yaitu pemberdayaan secara terus menerus
karakter bangsa dengan bersedia menjadi role model dari pengembangan karakter
bangsa tersebut; dan (iii) character engineer, yaitu terus melakukan pembelajaran
terhadap pengembangan karakter yang menuntut adanya modifikasi dan rekayasa
yang tepat disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Disamping itu, program peningkatan kapasitas, khususnya Proyek
Peningkatan Kapasitas Berkelanjutan untuk Desentralisasi (Sustainable Capacity
Building for Decentralization atau SCBDP
), juga berperan dalam pembangunan
karakter aparatur negara yang profesional melalui intervensi pada tiga tingkatan,
yaitu (i) tingkat sistem, seperti kebijakan dan pengaturan kerangka kerja yang
relevan; (ii) tingkat kelembagaan, seperti struktur organisasi, proses pengambilan
keputusan dan prosedur lain, sistem informasi manajemen dan hubungan antar
organisasi; dan (iii) tingkat individual, seperti kompetensi, keterampilan dan
kualifikasi individu, pengetahuan, sikap, etika dan motivasi personil.

Pemerintah Daerah adalah komponen bangsa yang paling strategis posisinya
dalam memainkan proses transformasi karakter dan tata nilai di tengah-tengah
derasnya liberalisasi informasi era globalisasi.