Perdebatan mengenai apa dasar negara RI harus didasarkan telah lama menjadi debat yang panas terutama kelompok Islam dan Pancasilais. Pada sidang konstituante 1957 debat itu kembali terulang dengan hasil yang boleh dikatakan menggantung. Bahkan bagi kaum Islamis fanatik wacana ini belumlah padam, faktanya adalah kembali maraknya wacana shariatisasi tatanan hukum seiring dengan euforia reformasi. Kegagalan pembangunan dan krisis moral nasional pasca rezim Suharto menjadi momentum kaum Islamis untuk menyatakan mosi tidak percaya (lagi) pada Pancasila. Pancasila dianggap gagal, oleh kelompok islamis ini, menjadi dasar kenegaraan dan kebangsaan RI. Bertumpuk-tumpuk artikel tentang ini bisa dibaca online maupun cetak di media kaum islamis seperti Sabili, Mujahidin, Salafy, Hidayatullah dll. Kaum Islamis ini jelas mengusung romantisisme Negara Islam Indonesia (NII) dengan cita rasa baru yakni bukan lagi mencitakan NII namun “Indonesia Nan Islami”.
Islamisasi Indonesia lewat politik dakwah (Collins, 2004) sebenarnya telah berjalan secara pasti sejak awal Orde Baru hingga puncaknya saat berjalan seiring dengan Penguasa dalam ICMI menjadi letak mendasar bagi Islamisasi Indonesia (Hefner, 1997). Seruan Hisbutahir Indonesia (HTI) dan simpatisan politik Islamisasi lainnya tantang shariah Islam sebagai solusi kini memuncak pada gol tidaknya RUU Anti Pornoaksi dan Pornografi (APP) atau kini yang berubah nama menjadi RUU Anti Pornografi (AP) yang kontroversial itu. Kaum Nasionalis banyak yang melihat bahwa ini adalah awal dari shariatisasi Indonesia. Teman dari Bali menyatakan kekhawatirannya pada penulis bahwa golnya RUUP ini adalah tanda dari Islamisasi Indonesia. Terlihat dari wacana ini bahwa semenjak euforia reformasi Islam adalah wacana politik di public dan elite pemimpin yang Islamis. Media massa dan elite Muslim yang duduk di pemerintahan tengah ‘haus’ akan keislaman yang otentik (bahkan ironisnya cenderung ke arah konsupmtivisme akut). Sementara itu, wacana Pancasila oleh kaum Nasionalis terasa direduksi menjadi isu kebangsaan dan kebinekaan yang boleh jadi merupakan kegamangan akan trauma stigmatisasi Pancasila di bawah Rezim Orba. Diakui atau tidak ‘perasaan’ kaum nasionalis ini menumpulkan wacana Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Walaupun demikian, meski wacana Islam sebagai solusi bangsa sangatlah lantang sebenarnya kaum Islamis ini juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana Islam menjawab secara riil permasalahan bangsa yang multietnis, multiras, multikeyakinan, dan multikultur. Hal ini dikarenakan Islam yang tidak tunggal (Lawrence, 1998) itu hanya mengulang-ulang kembali perdebatan yang ada pada sidang Konstituante 1957. Bahkan kaum nasionalispun sepertinya terbawa arus debat kusir yang tak berkesudahan tentang dasar negara yang cocok untuk Bangsa Indonesia yang multi segalanya ini, tanpa pernah serius mengerti dan menjalankan esensi untuk apa Dasar Negara itu dibuat. Semua energi kaum Islamis dan Nasionalis pada akhirnya hanya berkutat payah dan letih hingga berbusa pada debat material Dasar Negara daripada bagaimana menjalankan dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Mengapa bisa seperti ini keadaannya dan bagimana seharusnya umat Islam dan umat agama lainnya menyikapi krisis kebangsaan dan kenegaraan kita ini? Bagaimana dengan Pancasila?
Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.
Umat Islam dan umat agama lainnya di Indonesia dalam kebangsaan yang tunggal ini sebenarnya lebih memungkinkan untuk bekerjasama dalam membangun bangsa, lepas dari keterpurukkan ekonomi maupun sosial, dan filsafat Pancasila disini bisa menjadi kalimat al sawaauntuk semua golongan. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ‘kesepakatan’ bersama dalam rekap laporan Komisi I Konstituante Tentang Dasar Negara 1957. Nilai dan falsafah Pancasila bagi dasar negara Indonesia tidak diragukan lagi ada di setiap agama yang menjunjung keadilan dan kemanusiaan. Sesuatu dasar neagra yang memuat semua hal yang merupakan kepribadian luhur bangsa Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945 yang menjamin hak asasi manusia dan menjamin berlakunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang menjadikan musyawarah sebagai dasar segala perundingan dan penyelesaian mengenai segala persoalan kenegaraan, menjamin kebebasan beragama dan beribadat dan berisikan sendi-sendi perikemanusiaan dan kebangsaan yang luas .
Terpuruknya suatu bangsa yang memiliki pandangan yang luhur seperti Indonesia kini bukanlah kesalahan dan kegagalan dari dasar negaranya Pancasila. Bahkan fakta sosial bahwa banyak umat agama yang terpuruk bukan berarti agama itu salah atau gagal. Pandangan bijak seperti ini sebenarnya telah diucapkan oleh para wakil Komisi I di sidang Konstituante ini. Kiranya pernyataan ini adalah pernyataan bijak yang abadi. Islam atau agama apapun dalam sejarah bangsa dan negara di dunia ini banyak yang mengalami kegagalan dan kehancuran, hal ini dikarenakan penguasa saat itu tidaklah demokratis dan menjunjung keadilan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Hal itu diperparah oleh elite penguasa dan agama yang korup, mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Pancasila juga mengalami hal itu terutama sejak (dan bila) penguasa melupakan tujuan dari pancasila itu sendiri yakni menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyatnya. Jadi bukan salah Pancasila apalagi Agama bila suatu bangsa terpuruk, namun lebih daripada itu semua dalah kesalahan elite penguasa dan agama yang rakus pada kekuasaan dan kemakmuran diri sendiri. Namun demikian, dibanding dengan agama yang selalu eksklusif sifatnya, Pancasila dengan nilai demokratisnya lebih menjanjikan bagi suatu kebangsaan yang multi-segalanya seperti Indonesia ini.
Akan tetapi, bukan berarti dasar negara tidak boleh diganti (dengan suatu agama misalnya) seperti yang diingatkan oleh Soedjamoko di Sidang Konstituante ini. Sebab bila rakyat semua berkehendak untuk dirubah maka sah lah dasar negara yang disepakatinya nanti. Walaupun demikian, Soedjatmoko mengingatkan bahwa tujuan dasar negara itu adalah untuk menciptakan keadilan, kemanusiaan, dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa. Hal yang hanya bisa diciptakan dalam mekanisme demokrasi modern. Disinilah arti daripada demokrasi modern bagi semua agama yang memiliki naluri eksklusifitas bisa direkonstruksi demi tujuan yang lebih mulia yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dalam mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi serta politik yang seluas-luasnya. Demokrasi bukan berarti kesempatan bagi sekelompok elite agama untuk memaksakan kehendaknya seperti halnya tampak dalam kasus akhir-akhir ini di Indonesia lewat Islamisasi Perda maupun RUUP yang sepihak tanpa adanya musyawarah dan rasa keadilan.
Meskipun begitu, nilai etik dan moral pada Pancasila sesungguhnya berasal dari nilai-nilai tradisi dan agama itu sendiri yang tentu saja musti disempurnakan dengan imbangan nilai-nilai kemanusiaan modern seperti yang dimaktub dalam deklarasi HAM. Doktrin Agama yang tumbuh dalam ruang dan waktu sejarah tertentu jelas mengalami dislokasi dengan rasa budaya dan kemanusiaan yang ada, apalagi agama yang datang dari satu daerah ke daerah lain. Dislokalitas dan temporalitas agama jelas terkandung didalamya suatu nilai budaya tertentu -misal Islam dan Arab atau Kristen dan Barat. Negoisasi dan akulturasi yang terjadi di ruang dan waktu sejarah selanjutnya juga ikut mewarnai sosok agama tersebut hingga tercipta simbiosis semacam Islam Jawa atau Kristen Batak. Nilai-nilai modern ini sebenarnya tumbuh dari pengalaman manusia dalam mencari dan mamaknai keadilan dan kemanusiaan akibat perjumpaan antar dan inter agama dan budaya. Pancasila yang tumbuh dari kepribadian bangsa inilah (yakni agama yang memiliki nilai demokrasi modern) yang akan mampu membawa manusia menjalani dan mengekspresikan agamanya menjadi lebih dewasa. Beragama dalam bingkai keindonesiaan berarti mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan berpancasila dalam segala tindakan etik dan moral kita sejatinya buah dari religiusitas beragama yang dewasa dan modern. Celakanya agama modern sekarang lebih berorientasi pada masa lalu yang dianggap otentik dan murni, mirip dengan Pancasila di Zaman Orba yang memfosilkan Pancasila itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar